18 Mei 2009

aDa yg nyusul... =)















Aslm...

Alhamdulillah
bulan April kmrn tmn CATO qt ada yg d wisuda

Selamat yak bwt HUSNUL HULUQI
Weiz...akhirnya gelar "ST" kau sandang juga Bro!!!

Mg ilmunya dapat bermanfaat,
n segala pa d citakan tercapai, Amien...

Bwt anak2 CATO yg laen, smg cepet nyusul yak....

Chayo!!!

Salam Lestari

LuV U all

Wass.


16 Mei 2009




Puas menikmati keindahan alam, kami bergegas turun gunung karena berencana untuk sampai di Semarang malam ini juga. Setelah berkemas, kami turun melalui jalur Wekas. Jalur Wekas berupa lembah yang berseberangan dengan jalur Cuntel. Sebenarnya tidak disarankan untuk mendaki dan turun gunung melalui jalur lembah karena banyak jalan air. Dikhawatirkan ketika musim hujan tiba, jalan air tersebut akan mengganggu pendakian. Selain itu jalur lembah biasanya adalah jalur binatang untuk mencari mangsa. Selama perjalanan pulang saya melihat jejak kaki binatang. Saya jadi parno, ‘jangan – jangan itu jejak Harimau, waduuh … kalo ketemu bisa gawat nih… ‘ namun perasaan itu saya simpan saja dalam hati. Malu kalo ketahuan teman – teman hehe....

Perjalanan kami terhenti ketika jalan yang kami lewati tertutup pohon tumbang. Rimbunnya daun pohon tersebut menutupi jalan setapak di sekitarnya. Mau tak mau kami harus menyingkirkan daun dan batang pohon tersebut sampai akhirnya kami menemukan jalannya kembali. Ketika saya memperhatikan, ternyata pohon – pohon itu tidak roboh dengan sendirinya, namun ditebang. Siapa lagi orang yang tega menebang pepohonan di hutan ini? Apa tidak tahu kalau sebagian hutan di Merbabu baru saja habis terbakar!

Belum jauh berjalan, kami harus berhenti lagi karena jalan setapak yang kami lalui bercabang dua. Lewat sebelah mana ya? kanan atau kiri. Akhirnya kami memutuskan untuk melalui jalur sebelah kanan, entahlah, hanya mengikuti insting saja. Tak berapa lama, kami bertemu dengan penduduk sekitar, mereka heran kenapa kami melewati jalur pencari kayu. Ooow... ternyata kami kesasar. Kami salah jalur, pantas saja banyak terdapat jejak kaki binatang. Mungkin itu jejak anjing milik para pencari kayu tersebut. Kemudian kami bertanya tentang jalan yang bercabang tadi. Ternyata jalur sebelah kiri tersebut sering membuat orang kesasar. Mereka menambahkan bahwa minggu kemarin baru saja ada orang hilang disana. Waah ... serem juga ...

Sesampainya di desa terakhir, kami masih saja salah jalur karena tiba – tiba jalan yang kami lewati berujung di jalan beraspal. Mana base campnya?  Oalah, base campnya ada di atas sana, beberapa tanjakan dari tempat kami berada. Karena terlalu lelah untuk mendaki kembali ke base camp, kami pun meneruskan langkah kaki menyusuri jalan.

Hari beranjak gelap, kami telah melewati beberapa desa, kuburan serta sawah dan ladang. Tidak ada mobil pick-up atau truk yang bisa dimintai tumpangan menuju ke kota. Padahal kami sudah teramat lelah berjalan. Sampai akhirnya, langkah kaki kami berujung di jalanan besar. Tak lama menunggu, sebuah mobil pick-up berhenti melihat lambaian tangan kami. Alhamdulillah !!! Kami terburu – buru menaiki bagian belakang mobil sampai tidak jelas mendengar penjelasan sang sopir dan temannya. Dan ... Oouww.... apa ini ? ada sesuatu yang lengket di balik jerami yang berserak di bawah sepatu kami. Baunya kok seperti ... AAAhh.... !!!! ini kan TAHII KEBOOoo !!!!!!

Mimik muka kami langsung berubah tidak jelas. Bayangkan saja, kami berenam membawa tas carier seberat rata-rata 10 kg, berdesak – desakan sambil menahan laju mobil dengan berpegangan pada sebuah rangka besi. Dimana, di tempat kami berpijak saat ini–di dasar pick-up yang tidak begitu jelas kami lihat karena gelap, banyak terdapat TAHII KEBOOO !!! ....AAAaahh... !!!! Tidak ada yang lebih kami inginkan selain segera sampai di tujuan. Kami seperti telur di ujung tanduk. Jalan kaki sampai kaki copot atau naik mobil yang bekas mengantarkan sapi – sapi peternakan.

Alhamdulillah, cobaan kami berakhir juga. Mobil tersebut berhenti dan kami segera turun mengucapkan terima kasih. Setelah mobil berlalu, Khusnul melihat seorang lelaki sedang mencuci bus angkudes. Bergegas, kami menghampiri bapak tersebut dan meminta air untuk membersihkan diri. Sepertinya saya sudah membersihkan diri sebersih mungkin, tapi kok rasanya bau “itu” masih saja tercium yaa ?

Kemudian kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkudes menuju Pasar Sapi. Namun ternyata kami terlalu malam sampai disana sehingga sudah tidak ada lagi bus kota yang menuju Semarang. Uuhh ... dengan terpaksa kami menghabiskan malam dengan tidur di emperan toko di sekitar Pasar Sapi.

Esoknya, pagi – pagi sekali kami bangun dan naik bus menuju Semarang. Aah.. perjalanan kali ini benar – benar penuh dengan petualangan. Banyak cerita seru untuk dibawa pulang dan dibagikan ke teman – teman. Sampai jumpa lagi Merbabu, semoga di lain hari kami bisa kembali mendaki serta mengabadikan keidahanmu. Agar generasi mendatang bisa menghargai dan merawatmu dari kepunahan. 

 





Pagi hari, kami harus turun ke kawah karena persediaan air habis. Bau belerang menyambut kami di dasar kawah. Menurut informasi penduduk, di lokasi itu terdapat mata air. Namun kami harus berhati – hati mengambilnya jika tidak airnya bisa bercampur air belerang dan bisa keracunan. Kami mencari – cari sumber air tersebut diantara lubang-lubang berisi air keabu-abuan yang meletup – letup. Saya sempat heran, masa sih ada mata air tawar di tengah kawah belerang seperti ini? Eh, ternyata beneran ada. Mata airnya ketemu! Ada pralon putih kecil yang sudah diselimuti lumut hijau, menyembul di balik rerimbunan tumbuhan – tumbuhan sekitar kawah. Kami pun mencoba dulu rasa air tersebut, umm… tawar sih tapi kok agak aneh ya. Ragu juga kami meminumnya tapi bagaimana lagi tidak ada pilihan lain, daripada dehidrasi. 

Setelah sarapan pagi, kami berkemas untuk melanjutkan pendakian. Sebelum sampai di puncak Syarif dan Kenteng Songo kami melewati Jembatan Setan. Dinamakan Jembatan Setan karena konon jalan ini sempit sekali, hanya bisa dilewati satu pendaki. Itu pun harus berhati – hati jika tidak, bisa jatuh ke jurang di samping kanan dan kirinya. Tapi sekarang jalan tersebut sudah melebar dan bisa dilewati dua sampai tiga orang sekaligus. Kemudian kami bertemu dengan pertigaan yang terdapat batu besar di tengahnya. Arah kanan ke Puncak Kenteng Songo dan arah kiri ke Puncak Syarif.

Kami terlebih dahulu menuju Puncak Kenteng Songo. Sesampainya disana, kami merayakan dengan sujud syukur dan makan cokelat. Setelah itu, Irfan meninggalkan slayer birunya yang sudah dibubuhi tanda – tangan kami berenam serta beberapa uang receh untuk kenang – kenangan. Satu hal yang tak pernah terlewat ketika kami sampai di puncak gunung adalah menyanyikan mars CATOPALA dan tentunya berfoto ria.

Dari Puncak Kenteng Songo tampak jelas Gunung Merapi yang bertambah ketinggiannya setelah erupsi yang lalu. Tampak juga Gunung Sindoro – Sumbing, Gunung Ungaran dan Bukit Telomoyo. Keindahan gunung – gunung yang berdiri kokoh tersebut beradu dengan langit biru yang dihiasi arak – arakan awan putih serta padang ilalang yang terhampar mengitari puncak, membuat hati selalu bersyukur atas kelimpahan yang diberikan Allah SWT atas bumi Indonesia ini.

bersambung ....

15 Mei 2009


Pos 3 sudah di depan mata. Sebuah tempat datar yang penuh dengan ilalang dan bunga edelweiss bertebaran di sekeliling kami. Agustus memang waktu yang cocok untuk melihat bunga abadi ini bermekaran. Kami beristirahat dan mengisi perut yang mulai keroncongan. Irfan mengeluarkan trangia, mengisi dengan spirtus, lalu memasak mie rebus.

Sinar mentari yang menghangat serta angin sore membuat ilalang bergoyang – goyang membelai kami. Aaahh … pos ini enak sekali buat leyeh – leyeh. Setelah makan, kami mulai mengantuk dan malas untuk melanjutkan pendakian. Namun mengingat perjalanan masih jauh, mau tidak mau kami harus segera berkemas dan mendaki sebelum gelap.

Sesampainya di Puncak Pemancar, terlihat jalur dari Tekelan. Ternyata jalur Cuntel berseberangan dengan jalur Tekelan. Dan benar kata penjaga base camp kemarin, jalur Cuntel adalah jalur punggungan. Makanya saya jadi loyo karena bonus track-nya (medan datar) sedikit sekali. Tapi rasa lelah itu segera hilang tatkala saya menyaksikan maha karya Allah SWT. SubhanAllah!!! SubhanAllah!!! SubhanAllah!!! Saya hampir tidak percaya, saya melihat pelangi yang begitu indah dimana kalimat yang saya tuliskan saat ini pun tidak mampu melukiskan keindahan mahakarya Allah SWT tersebut.

Saya berdiri di atas tanah dengan ketinggian 3000 mdpl dan menyaksikan rangkaian warna mejikuhibiniu hanya berjarak sekitar 500 meter di sebelah kiri saya. SubhanAllah!!! Rupanya kabut tadi telah membawa molekul – molekul H2O sampai disini. Warna – warninya yang berkilauan adalah buah semburat sang surya yang merona jingga. Pelangi tersebut berbentuk lingkaran penuh dengan lubang ditengahnya. Bukan berbentuk setengah lingkaran seperti yang biasa kita lihat. Saya tidak tahu kenapa itu terjadi, apa mungkin karena di atas gunung tidak ada penghalang seperti gedung – gedung bertingkat atau kualitas udara disini lebih baik. Ingin tahu jawabannya lebih baik searching di google saja haha … 

 Kami mendirikan tenda di bawah jalur Helipad agar terlindung dari angin yang berhembus kencang. Sayangnya kami tidak sempat mencari air, karena hari sudah keburu gelap. Akhirnya kami memasak makan malam yaitu nasi, sup, nugget, krupuk serta air panas untuk kopi dan teh dengan air seadanya. Malam itu bulan purnama sehingga udara terasa dingin menggigit tulang. Namun kami ingin menikmati keindahan dan keakraban ini dengan mematikan lilin lalu bersenda gurau memainkan kartu truth or dare.

bersambung ........




Selesai sholat kami masih saja menunggu dengan cemas. Aneh sekali, mana mungkin penduduk asli yang terbiasa hidup di gunung berjalan lambat layaknya pendaki amatiran seperti kami. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian karena kabut sudah naik ke atas. Logikanya, kabut membawa air yang memadamkan api sehingga ada kemungkinan kebakaran tersebut sudah sedikit mereda. Lagipula suara gemeretak kebakaran sudah tidak terdengar lagi. 

Setelah melewati pos 1, kami bertemu penduduk dari arah depan. Ternyata mereka menggunakan jalur lain yang langsung menuju ke lokasi kebakaran. Makanya, kok lama sekali... Kemudian mereka mengajak kami untuk menengok lokasi kebakaran. Dika, Khusnul dan Irfan berangkat terlebih dahulu sedangkan sisanya menjaga barang bawaan. Setelah mereka kembali, saya, Desi dan Adi Poto mengikuti Khusnul ke lokasi kebakaran tersebut.

Panas bara api menyambut kedatangan kami. Astaghfirullahaladzhim !!! Baru kali itu, saya berdiri dan memandang hutan yang hangus terbakar. Rerumputan, semak- semak dan pepohonan tumbang menghitam. Di kejauhan tampak api berkobar – kobar membumihanguskan semua yang di sekelilingnya. Mengerikan !!!! 

Pertama kali yang saya pikirkan saat itu adalah menelepon SARDA Jateng untuk melaporkan kejadian tersebut dan berharap agar bencana ini dapat segera teratasi. Namun, menurut penduduk tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengatasi kebakaran hutan. Lokasinya jauh dan sulit ditempuh. Kemarau serta angin kencang akan membuat bara api di tanah merembet kemana – mana. Bisa dipastikan kebakaran ini akan terjadi lagi dan lagi. Hanya hujan deras yang dapat menghentikan kebakaran. Tapi mana mungkin ditengah kemarau panjang seperti ini. Lagipula sampai saat ini pemerintah belum punya cara penanggulangan kebakaran hutan yang efektif. Selama ini menurut pengakuan penduduk jika terjadi kebakaran hutan, yaa… dibiarkan begitu saja sampai reda dengan sendirinya. Padahal menurut mereka, dua minggu lagi BKSDA Jateng akan meninjau lokasi ini. Eeh… malah sudah kebakaran duluan. Setelah berdiskusi dengan penduduk, kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian. Dengan pertimbangan bahwa kebakaran sudah mereda dan arah angin tidak membawa asap menuju puncak.

bersambung .............




catatan pendakian merbabu part.2


Besoknya, sekitar pukul 08.00 wib kami bersiap – siap meneruskan pendakian. Sebelumnya kami mendaftar dan mengambil peta yang tersedia di base camp. Di lembar  peta, sebelum sampai di pos 1 terdapat 2 pos bayangan, kemudian pos 3, pos 4, puncak Pemancar, Helipad, Jembatan Setan, dan puncak Merbabu. Gunung ini sudah tidak aktif dan mempunyai kawah belerang. Puncak Merbabu berada di ketinggian 3167 mdpl dan bukan merupakan puncak tunggal. Puncak yang terkenal adalah Puncak Syarif, Puncak Pemancar dan yang tertinggi dinamakan Kenteng Songo. Diatas Kenteng Songo terdapat peninggalan berupa lesung – lesung berbentuk bulat yang terbuat dari batu. Bisa kamu bayangkan siapa orang iseng yang membawa dan meletakkan lesung – lesung tersebut di puncak tertinggi Gunung Merbabu ?

Awal pendakian terasa begitu menyiksa untuk saya. Panas menyengat, berat beban di punggung dan jalan yang mendaki membuat saya yang selama enam bulan terakhir tidak pernah mendaki gunung dan malas berolah raga menjadi ngos – ngosan. Saya menyemangati diri, bahwa ini barulah pemanasan jadi wajar jika tubuh saya terasa sangat kelelahan.

Di tengah perjalanan menuju pos bayangan 2, selintas saya mendengar suara seperti gemericik air. Namun seingat saya, jalur ini tidak ada mata air sampai di kawah belerang. Jika ada pun pastilah sudah mengering di tengah kemarau panjang seperti ini. “Jangan – jangan kebakaran hutan nih!! ” saya bergumam dalam hati. Lalu saya memberi tahu Irfan dan kami berusaha mencari sumber suara tersebut.

Astaghfirullah !!! Benar saja, di kejauhan kami melihat asap membumbung tinggi melingkupi sebuah pohon cemara. Irfan segera berlari memberi tahu teman – teman yang sudah mendaki agak jauh ke atas. Saat itu mereka sudah sampai di pos 1 dan dari sana hawa panas kebakaran mulai terasa mendekat.

Tergesa – gesa kami turun ke bawah menuju pos bayangan 2. Sesampainya, sambil terengah – engah saya dan Desi berusaha mencari sinyal handphone untuk menghubungi base camp. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya saya berhasil memberi tahu peristiwa kebakaran tersebut dan penduduk desa akan segera datang kemari. Alhamdulillah kami diingatkan akan adanya kebakaran tersebut. Jika tidak, kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika kami meneruskan pendakian tadi.

Kami memutuskan untuk beristirahat sembari menunggu penduduk desa datang. Lama sekali kami menunggu, sayup – sayup mulai terdengar lagi suara gemeretak kayu – kayu yang terpanggang api. Saya menyarankan teman – teman agar segera turun ke base camp untuk menyelamatkan diri. Namun beberapa menolak dan ingin agar pendakian ini dilanjutkan. Terjadi adu argumen diantara kami hingga terdengar suara adzhan dzuhur berkumandang lirih.

bersambung .......

Catatan Pendakian Merbabu, Agustus 2006




Teruntuk teman-teman petualang alam bebas,

Ini obat rindu keakraban kita tempo dulu

 

Angin malam berhembus membawa keheningan pegunungan

Menyejukkan paru – paru  yang terpolusi asap kendaraan

Sinar purnama pun turut menerangi langkah kaki

Seiring canda tawa dan hati yang merindu Merbabu lestari

 

Awal Agustus 2006, malam itu langit terang tanpa awan. Sinar purnama membuat kebun sayur yang terhampar di sepanjang jalan menuju Merbabu tampak jelas terlihat. Sekitar pukul 20.00 wib, kami telah sampai di desa terakhir.

Kami berenam (Saya, Desi LIAR, Dika, Khusnul, Irfan dan Adi Poto) singgah di base camp untuk melapor rencana pendakian kami. Sembari mengamati sekeliling, kami merasa ada yang aneh dengan base camp tersebut. Rasa – rasanya base camp ini bukan base camp Tekelan yang kami tuju. Oalah… ternyata kami salah jalan, base camp ini adalah base camp Cuntel. Untuk menuju base camp Tekelan kami belok kiri setelah melewati bumi perkemahan Kopeng. Namun ternyata kami tadi berjalan lurus mengikuti jalan yang ada. Akhirnya kami memutuskan untuk menginap dan meneruskan perjalanan esok pagi, karena tidak ada satu pun dari kami yang pernah melewati jalur ini.

Sebelum tidur, saya dan Desi memasak makan malam sedangkan para lelaki bercengkrama dengan penjaga base camp. Sambil menghisap rokok kretek dengan tembakau hasil dari perkebunan desa itu, beliau bercerita bahwa jalur Cuntel jarang dilewati pendaki karena medannya berupa punggungan dan sedikit terdapat sumber air.Kemudian beliau menawari Khusnul dan Dika rokok tersebut. Namun, setelah satu hisapan ternyata para lelaki yang doyan merokok ini menyatakan menyerah. Mereka terbatuk – batuk, sembari berkata, tembakau itu nyenggrak di tenggorokan dan rasanya tidak enak. Hihihi ...